Sadar atau tidak sadar, ketika bekerja kita seringkali dituntut untuk melakukan beberapa hal sekaligus dalam satu waktu. Bahasa kerennya multitasking.
Mirip seperti gadget atau laptop kita. Buka aplikasi word processor, dengerin musik, ngedit gambar, sambil browsing twitter’an dan facebook’an, plus plus plus yang lain.
Tapi ini yang di multitasking itu tubuh manusia, termasuk otak, tangan, kaki, mulut, dan seluruh anggota badan kita.
Biasanya kalau pekerjaan sedang deadline, kecenderungan perasaaan menjadi panik, waktu bergerak mepet, tekanan dari lingkungan sekitar membesar, dan konsentrasi pikiran menurun drastis.
Apakah kita enjoy? Hmm, itu relatif. Bisa ya, bisa juga tidak.
Yang jelas melakukan segala sesuatunya dengan cara multitasking itu ide yang sangat buruk.
Ibaratnya kita punya power yang jatahnya bisa dipakai buat 2 jam, tapi diforsir dan efektifnya jadi 1 jam.
Sialnya lagi, udah habis jatah 1 jam tetap aja di push sampai kehabisan tenaga, akhirnya kepala jadi pusing lah, migren, masuk angin, badan mendadak demam, dll dll.
Mengapa saya bisa bilang begitu, karena saya sering melakukannya. Hehehe.. Bener deh, itu sangat menyiksa!
Apakah Multitasking Efisien?
Sekarang ini, seolah sudah menjadi hal yang wajar, orang-orang dituntut untuk mampu melakukan multitasking. Dan ketika berhasil melakukannya, kita akan mendapat penghargaan lebih baik karena dianggap bekerja lebih produktif dan efisien.
Namun, disinilah saya merasa janggal. Jika saya mengerjakan lebih dari satu tugas secara bersamaan seringkali justru lebih tidak efisien.
Dr. David Meyer, seorang profesor psikologi dari University of Michigan, mengatakan bahwa semakin kompleks kegiatan seseorang, semakin banyak pula waktu yang ia butuhkan. Sehingga ketika mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus, seseorang tidak dapat menyelesaikannya dengan optimal. Alih-alih meningkatkan produktivitas, akhirnya malah menyebabkan karyawan sering bolos kerja, dan yang lebih parah, tingkat turnover (keluar masuk karyawan) menjadi lebih tinggi.
Dampaknya Bisa Merusak Otak
Setelah membaca artikel tentang efek buruk multitasking, saya baru tahu bahwa ternyata otak manusia pada dasarnya tidak didesain untuk melakukan multitasking. Kalau pun kita mengerjakan dua hal sekaligus, seperti makan sambil membaca SMS atau jalan sambil mengunyah permen, maka salah satunya dilakukan secara autopilot. Karena sudah menjadi kebiasaan, maka bisa dikerjakan tanpa memerlukan konsentrasi.
Tetapi ketika kita harus mengerjakan dua tugas yang sama-sama membutuhkan konsentrasi penuh dan proses pengambilan keputusan, maka otak kita akan overload.
Salah satu efek negatif dari multitasking adalah penurunan kemampuan memori khususnya short term memory atau disebut ‘working memory’. Bagian otak inilah yang pertama kali mengolah informasi yang masuk untuk disimpan dalam ingatan.
Bila kita sedang mengerjakan atau berpikir tentang beberapa hal dalam waktu bersamaan, maka bisa terjadi stimulasi berlebihan pada otak. Proses atensi pun akan berpindah-pindah. Akibatnya, otak tidak dapat memilah mana informasi penting dan tidak penting, sehingga Anda menjadi mudah lupa. Demikian hasil studi dari Clifford Nass, Ph.D. dari Stanford University (2009).
Karena penurunan fungsi otak tersebut, kita pun menjadi stres dan mudah emosi dan marah. Menurut Dr. Martina W. Nasrun, Sp.KJ (K), psikiater dari RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, jika multitasking ini terus dilakukan dalam kondisi stres, maka lama kelamaan sel otak pun menjadi rusak. Dan hal ini dapat mempercepat munculnya gejala Alzheimer.
Nah lohh, masih berani multitasking?
Referensi: http://www.pesona.co.id